Adsensecamp

ARTIKEL TERBARU

Memilih Arsitek yang Tepat untuk Anda

Memilih Arsitek memang bukanlah pekerjaan yang mudah, karena kualitas keprofesian para arsitek hanya bisa ditampilkan dari pengalaman dan pencapaian yang pernah diperolehnya. Untuk itu, masyarakat didorong untuk lebih bijaksana dalam menentukan arsitek mana yang tepat untuk menjalankan proyek yang hendak direalisasikan.

Pengenalan

Dalam proses awal, maka ada beberapa panduan ringkas yang bisa Anda jalankan sebagai tahap pengenalan akan tingkat kemampuan dan kualitas calon arsitek Anda:
  1. Arsitek Profesional IAI dilengkapi dengan Sertifikat Ke-Ahlian (SKA) yang diberikan dan diperpanjang dengan syarat-syarat yang ketat. SKA yang dikeluarkan oleh IAI tidak bisa dibeli sembarangan hanya karena uang, karena pada setiap pengajuannya setiap arsitek wajib memenuhi persyaratan-persyaratan yang sesuai dengan standar kompetensi Internasional (untuk SKA Utama) dan Nasional (untuk SKA Madya dan Pratama). Setiap arsitek yang memiliki SKA IAI, sangat terikat dengan kode etik keprofesian organisasi IAI. Anda bisa meminta kepada calon arsitek anda untuk menunjukkan bukti SKA yang mereka miliki.
  2. Anda dapat meminta contoh-contoh proyek yang pernah mereka tangani, dengan mengharapkan penjelasan yang lebih rinci tentang proyek-proyek itu secara mendetail untuk membuktikan keterlibatan mereka dan kesuksesan proyek tersebut.
  3. Anda dapat melakukan sayembara untuk mendapatkan hasil yang maksimal, karena sayembara itu sendiri memiliki persyaratan dan peraturan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan anda. Perihal sayembara yang dapat diakui oleh IAI, wajib mengikuti Peraturan Penyelenggaraan Sayembara Arsitektur IAI.

Pemilihan

Dalam proses memilih dan menyaring dari beberapa daftar calon arsitek, Anda dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan dasar yang bisa memberikan Anda kepastian tentang komitmen sang calon arsitek dalam melihat prioritas proyek Anda dalam agenda kerjanya.
  1. Apa yang paling penting untuk dibahas dan dipertimbangkan dalam proyek Anda menurut sang Arsitek?
  2. Apa tantangan dari proyek ini?
  3. Bagaimana sang Arsitek akan mengumpulkan informasi mengenai proyek ini?
  4. Siapakah dalam firma/biro mereka yang akan menjadi penghubung Anda? Apakah orang yang sama dengan yang mendesain? Siapakah yang akan mendesain?
  5. Seberapa tertariknya sang Arsitek dalam proyek ini?
  6. Seberapa sibuknya sang Arsitek saat ini?
  7. Apa yang membedakan sang Arsitek ini dengan yang lain?
  8. Bagaimana sang Arsitek menetapkan standar biaya jasanya?
  9. Apa saja langkah-langkah proses desain yang akan diambil?
  10. Bagaimana sang Arsitek akan menjalankan proses tersebut?
  11. Apa saja yang diharapkan oleh sang Arsitek untuk disediakan oleh Anda?
  12. Apa filosofi desain sang Arsitek tersebut?
  13. Apakah pengalaman sang Arsitek dalam merencanakan Anggaran Biaya?
  14. Apa saja yang akan disediakan oleh sang Arsitek dalam menjelaskan proyek Anda? Maket? Gambar? Atau animasi 3D?
  15. Jika batas pekerjaan sang Arsitek berubah, apakah akan ada biaya tambahan? Bagaimana menghitungnya?
  16. Apakah pelayanan yang akan diberikan oleh sang Arsitek ketika proyek berjalan?
  17. Seberapa besarnyakah tantangan yang akan datang ketika proyek berjalan? Apakah sang Arsitek dapat memprediksikan hambatan-hambatan yang akan terjadi?
  18. Apakah sang Arsitek dapat memberikan daftar klien-klien lampau yang dapat dihubungi?

Penentuan

Dalam menentukan arsitek yang tepat bagi proyek Anda, maka Anda harus mempertimbangkan bahwa nilai biaya jasa yang paling murah bukanlah segalanya. Pekerjaan keprofesian arsitek adalah mengenai pemberian pelayanan yang paling maksimal sesuai dengan standar minimal keprofesian yang harus diberikan oleh sang Arsitek dalam proyek Anda.
Batas-batas pekerjaan arsitektur harus dibahas secara jelas pada awal perjanjian kerja sama agar terhindar kesalahpahaman profesi dan/atau kekeliruan spesifikasi pekerjaan.
Para pengguna jasa dan arsitek yang digunakannya harus dapat saling memahami lebih dulu tentang rencana dan rancangan yang dikehendaki oleh kedua pihak, agar pada pelaksanaannya dapat terhindar biaya berlebihan karena kesalahan konstruksi atau misinterpretasi desain. Oleh karena itu, para pengguna jasa harus dapat menemukan calon Arsitek yang dapat berkomunikasi dengannya secara baik dan dapat memahami keinginannya.

Share/Bookmark Read More..

Alasan Menggunakan Jasa Arsitek



  1. Apa yang dilakukan oleh seorang arsitek untuk proyek Anda?
    1. Arsitek dilatih untuk menerima penjelasan dari Anda dan dapat melihat konsep besarnya - mereka menyadari kebutuhan-kebutuhan penting Anda untuk mendesain bangunan yang fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan kebutuhan bisnis Anda.
    2. Arsitek dapat menghemat uang Anda dengan memaksimalkan investasi Anda. Sebuah bangunan yang terdesain dengan baik dapat mengurangi biaya Anda saat ini dan meningkatkan nilainya untuk jangka panjang.
    3. Arsitek dapat menghemat waktu Anda - dengan mengatur dan mengoordinasikan elemen-elemen penting dalam proyek, sehingga memberikan Anda waktu untuk berkonsentrasi kepada aktifitas organisasi Anda.
    4. Arsitek dapat membantu bisnis Anda. Mereka menciptakan lingkungan binaan secara keseluruhan - interior dan eksterior - yang nyaman dan fungsional untuk para pengguna dan penghuni lingkungan tersebut.
  2. Penjelasan proyek
Kunci kesuksesan utama dari proyek Anda sangat bergantung kepada kualitas penjelasan Anda, yang mana adalah kemampuan Anda untuk menjelaskan secara rinci kepada arsitek Anda mengenai kebutuhan-kebutuhan dan fungsi-fungsi dari bangunan Anda, dan rencana pengoperasian dan cara mengaturnya. Arsitek Anda terlatih untuk membantu Anda menyiapkan penjelasan akhir. Yang termasuk hal-hal penting yang dibutuhkan oleh arsitek Anda untuk diketahui adalah:
  1. Tujuan Anda:
    Apakah Anda menginginkan pencitraan yang baru (new image), memperluas ruangan atau mengadopsi teknologi baru? Apakah Anda merespon kebutuhan dari kebutuhan perubahaan struktur organisasi?
  2. Gaya desain Anda:
    Apakah Anda mempertahankan gaya desain dengan bangunan yang ada? Apakah Anda menginginkan desain yang terbaru atau canggih? Apakah Anda memperhatikan aspek desain yang langgeng atau ekologis?
  3. Alasan Anda mengajukan proyek ini:
    Aktifitas apa saja yang ditujukan dalam proyek ini?
  4. Otoritas Anda:
    Siapa yang akan mengambil keputusan? Tentang desain? Tentang biaya? Tentang tanggung jawab harian ketika proyek sedang berjalan?
  5. Harapan keseluruhan Anda:
    Apa yang Anda harap akan dicapai dalam proyek ini? Kepuasan pribadi? Mengesankan klien atau kompetitor Anda? Keunggulan bisnis Anda dalam sebuah komunitas? Memberikan suasana menyenangkan dan efisiensi yang lebih baik bagi karyawan Anda? Sebuah tempat yang lebih nyaman bagi Anda untuk Anda tempati?
Jika terlalu banyak ketidakpastian bagi arsitek Anda untuk menanggapi secara positif, ia bisa saja mengajukan usulan untuk melakukan penelitian pendahuluan atau studi banding sehingga Anda dapat menentukan kebutuhan-kebutuhan Anda pada informasi dasar yang nyata. Anda dapat menunjuknya atau seorang arsitek lain lagi untuk melakukan tugas studi ini bagi Anda dengan dasar perhitungan biaya jasanya persatuan waktu.

Share/Bookmark Read More..

Arsitek


oleh Y.B. Mangunwijaya
Kompas, 16 September 1993

Profesi arsitek di Indonesia masih baru. Di zaman sebelum perang dunia II di Technische Hoge School (THS) yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) hanya ada yang disebut jurusan Sipil, di mana Bung Karno dulu pernahmenjadi mahasiswa. Di THS negeri Belanda di Delft hanya ada jurusan yang disebut Bouwkunde (Ilmu Bangunan) yang menghasilkan arsitek-arsitek juga, tetapi lebih condong ke ilmu bangunan sipil. Kata sipil diambil dari sebutan kata civiel atau diterjemahkan sekarang: bangunan kepentingan masyarakat alias bangunan umum. Profesi arsitek pada dasarnya tidak lahir dari kalangan universitas atau perguruan tinggi, tetapi dari iklim magang para arsitek profesional di sanggarsanggar,
karena lebih digolongkan dalam profesi seni rupa. Arsitek-arsitek agung sebelum perang dunia II dan yang
selalu memberi wajah serba baru kepada dunia bangunan sesudah kehancuran umum dunia maju 1945 seperti Mies van der Rohe, Groupius, Corbusier, kalau tidak salah Kenzo Tange juga, bukanlah sarjana-sarjana lulusan universitas, tetapi orang-orang genius buah sanggar-sanggar "swasta" yang dididik langsung oleh masyarakat arsitek dan kreativitas pribadi. Seperti pelukis dan pematung, seniman tekstil dan sebagainya. Di Jerman memang ada lembaga pendidikan desainer termashur yang bernama Bauhaus (Rumah Bangunan) yang secara integral dan total mencakup pendidikan segala cabang seni. Tetapi Bauhaus justru tidak ingin akademik. Inspirasi dasar Bauhaus adalah kehidupan riil masyarakat, khususnya perpaduan antara keperluan sehari-hari dan dunia serba baru yang sedang dicangkokkan ke dalam masyarakat, yakni dunia khas industrial. Yang punya filsafat hidup, budaya, dan selera yang sangat khas, sangat berlainan dari dunia budaya agraris.
Dari sejarah kebudayaan di mana pun memang kita melihat, bahwa arsitek, pelukis, pematung, para seniman dalam seni-bentuk memang adalah "putra-putri masyarakat", bukan alumni perguruan tinggi formal. Bahkan di barat, hasil seni dari dunia akademi justru dilecehkan sebagai seni yang tidak otentik. Akademis artinya: buruk, klise, tidak inspiratif, tiruan, dan sebagainya yang negatif. Pertanyaan akademis juga bernada negatif: mengada-ada, tidak praktis, tidak hidup, tidak relevan. Walaupun di zaman antik, pertanyaan akademis justru bernilai metafisik yang tinggi. Tetapi, zaman industri yang dinapasi iptek memang lain problematika hidupnya.

Belum diakui penuh

Sebetulnya tidak sangat berbeda dari profesi-profesi lain yang semula belajar dari praktik kehidupan masyarakat, seperti ilmu ketabiban. Para sinsei di timur, timur tengah, dan barat belajar lewat proses magang dari para guru dan suhu di tengah masyarakat. Baru kemudian datanglah fakultas-fakultas kedokteran pada perguruan-perguruan tinggi formal. Ini sangat berhubungan dengan sifat dan proses birokratisasi juga yang tak terelakkan dalam masyarakat yang semakin canggih pengorganisasiannya. Tetapi, dokter sudah (terpaksa) dihargai masyarakat. Arsitek belum. Orang sakit berakal sehat atau terpelajar datang ke dokter tidak dengan tuntutan minta pil kapsul ini, suntikan itu, mendikte si dokter obat apa yang harus diberikan agar dia sembuh. Tetapi kepada arsitek orang datang dengan seperangkat permintaan dan pendiktean sesuka selera. Harus
seperti gedung ini dari Amsterdam, minta jendela seperti di Hongkong, harus pakai tiang ini dari Yunani dan harus meniru bentuk-bentuk yang "tidak kalah dengan" Singapura dan seterusnya. Arsitek bahkan dianggap lebih rendahdaripada dukun, karena kepada dukun sekalipun orang  tidak mendiktekan resep.
Mungkin karena pada pemberi order itu kebudayaannya masih belum beranjak dari demang despotik di zaman kolonial yang masih kelewat agraris, sehingga mereka bergaya seperti petani dungu yang sukanya mendikte dokter agar jangan diberi pil, tetapi disuntik saja biar cepat sembuh. Tetapi mungkin juga di arsitek belum dipercaya kemampuannya, dan membuktikan diri memang belum punya pendirian dan filsafat desain yang kuat sehingga tidak meyakinkan. Namun, boleh jadi orang punya suatu pemahaman tentang arsitektur yang keliru. Sehingga hasilnya adalah arsitektur murahan bahkan "kampungan" yang biasanya gado-gado asal comot sana comot sini karena memang itu yang diminta pemberi order. Kalau tidak memuaskan beliau-beliau, ditakutkan nanti tidak mendapatkan order basah dari klien yang kuasa, kaya baru tetapi tidak intelek, dan budayanya masih kampungan. Jadi praktis kriterianya: uang dan kemumpungan.
Sampai terjadi, arsitektur Gedung Dewan Pertimbangan Agung di Jakarta berbentuk luar bahkan warnanya pun plegpersis dengan gedung-gedung berarsitektur Germania Hitler, buah hasil retorika, patetik, dan patologis Menteri PU Nazi Albert Speer. Aneh, tetapi bagi yang tahu psikologi, sebetulnya tidak tidak aneh juga.
Maka harapan kita ingin berbudaya dan berkepribadian secara benar kepada para arsitek Indonesia, ialah: sudilah jangan main imitasi doang. Sudilah memberanikan diri menjadi dokter atau paling tidak dukunglah yang tidak mau serba didikte oleh klien atau pasien. Dan sumbangkanlah the best yang Anda punyai, yang Anda pelajari selama studi yang panjang. Jadilah seorang yang profesional dan jangan mau menjadi penyalur ide-ide suka pamer secara ngawur dari orang-orang yang biar punya duit dan kuasa, tetapi tidak paham budaya dan selera mulia.
Tidak mudah memang menghadapi orang yang tidak intelek dan tidak berperasaan halus, akan tetapi dokter yang sejati pun akan mengikuti tanggung jawab profesional dan hati nuraninya. Sebab semakin arsitek menjadi budak order, semakin martabat profesi arsitek merosot juga, dan semakin dilecehkan. Tukang roti atau koki jauh lebih tahu mana yang enak dan bergizi daripada sembarang  awam. Memang masih sulit dan berat, tetapi akhirnya ini soal mati hidupnya profesi arsitek. Di negara maju arsitek juga bukan orang yang sembarang mau didekte dan hanya mengikuti pemberi order. Negeri kita pun akhirnya juga akan maju dan semakin berintelek. Kemarau panjang memang tidak enak, akan tetapi tidak ada situasi yang abadi. Oleh karena itu siapa selain arsitek sendirilah yang harus merintis akhirnya kemarau panjang ini. Sendirian sulit, tetapi mudah-mudahan secara bersama dalam Ikatan Arsitek Indonesia hal ini akan lebih dapat dipermudah.
Sebaliknya masyarakat juga perlu tahu, bahwa sejak zaman dahulu dan di sepanjang sejarah bangsa manusia
khususnya bangsa-bangsa yang besar dan kreatif, arsitektur bukan cuma soal selera asal comot atau lonjakan-lonjakan nafsu belaka. Arsitektur adalah ekspresi dan wahana suatu kebudayaan, dalam pikir alam cita-cita dan ungkapan langsung paling jelas, bagaimana suatu masyarakat berfilsafat hidup dan menangani kehidupan. Secara benar ataukah ngawur? Punya kepribadian ataukah saling menjiplak? Semrawut atau punya batang pendirian yang kokoh? Berselera tinggi ataukah asal pinjam baju orang lain? Dan sebagainya. Memang susahnya istilah arsitektur adalah warisan barat yang diambil justru pada saat merosotnya pemahaman arsitektur di  sana. Arsitektur (dari akar kata Yunani arche = yang sejati, yang asli, dan tektoon = yang stabil) datang dari dunia mencuatnya ilmu bangunan sipil. Belum menyatakan dimensi-dimensi kebudayaan dan realilitas kehidupan yang lebih riil dan lebih mulia. Kata Sanskrit vasthu atau di-Indonesia-kan wastu (dalam bahasa jawa kuna artinya: bangunan) jauh lebih memadai yang arti aslinya lebih kaya,
berunsur, bernorma kehidupan, kesejatian, pengejawantahan bentuk dari prinsip-prinsip yang absolut, rencana
komperehensif, sesuai dengan hierarki kehidupan, dan sebagainya. Diterjemahkan dengan bahasa modern: form giving in its totality. Dari bentuk sendok, periuk atau selot kunci, kloset WC, gergaji, kendaraan, jalan, dan barang-barang sehari-hari lain, rumah, gedung umum, istana, kampung, toko, pelabuhan, bengkel, sampai pada tata desa, tata kota, tata wilayah, tata negara, dan tata dunia. Total, komprehensif, holistik, sekaligus mendetail, yang makro dan bentuk yang paling mikro dari berbentuknya realitas total kehidupan manusia dan masyarakat. Dalam arti, menjelang tahun 2000 istilah wastu jauh lebih relevan daripada arsitektur.
Maka sebetulnya dalam kampus jurusan arsitektur telah terjebak historis dimasukkan ke dalam fakultas teknik. Mestinya ke dalam fakultas ilmu-ilmu politik atau ilmu-ilmu kemasyarakatan. Di situlah ilmu wastu akan mendapat tempat yang paling wajar, karena sangatlah erat hubungannya dengan segala yang menata dan membentuk masyarakat. Dan yang akan menemukan relevansinya yang paling benar sebagai salah satu komponen konstitutif dari kebijakan yang lebih luas, memberi bentuk yang paling relevan dan pas bagi seluruh kehidupan real demi masyarakat yang relevan dan pas pula dengan kebudayaan hidupnya.
Tetapi memang, banyak variabel warisan sejarah yang masih sangat menghalang-halangi suatu renovasi yang cocok dengan kodrat permasalahan. Tetapi bolehlah untuk zaman sekarang dan mendatang letak jurusan arsitektur dalam dunia kampus terlanjur salah, asal saja para arsitek tidak salah meletakkan diri.
(disadur dari milis IAI 24 November 2007; pengirim: Erwinthon P. Napitupulu)

Share/Bookmark Read More..

Green Building dan Green Architecture

Konsep Green Building dan Green Architecture
Ir Jimmy Priatman, M Arch
Pimpinan Center for Building Energy Study Universitas Petra
Body: Saat ini, hampir di seluruh dunia banyak orang membicarakan tentang going green. Menurut Pimpinan Center for
Building Energy Study Universitas Petra, Surabaya, Ir Jimmy Priatman, M Arch, konsep bangunan berwawasan
lingkungan sebenarnya telah dimulai beberapa dekade lalu.
Ia mengemukakan hasil sebuah studi mengenai manfaat bangunan hijau. Di antaranya, peningkatan penjualan
sebanyak 40 persen, produktivitas pekerja dapat dikembangkan sebesar 15 persen dengan peningkatkan pengawasan
terhadap suhu keseluruhan dan juga pengawasan terhadap sumber penyakit dapat membasmi asma dan sumber alergi
bagi penghuni hingga 60 persen. ''Penelitian yang mendukung green building membuat sulit berpendapat bahwa going
green bukan ide yang baik,'' begitu pendapatnya seperti ditulis dalam abstraksi presentasi pada FuturArc Forum 2008,
Selasa (19/2).
Jimmy rajin mempromosikan konsep green building dan gedung hemat energi. Rancangannya tentang bangunan tinggi
terdiri atas penyejuk udara tanpa chlorofluorocarbon. Pada 2002, dia memenangkan penghargaan dari ASEAN Center
for Energy (ACE) untuk proyek Graha Pangeran, Surabaya, yang menggunakan hanya 140 kwh/m2/tahun. Penghargaan
kedua dia raih dari ACE untuk proyek Graha Wonokoyo, Surabaya, yang hanya menggunakan 88 kWh/m2/tahun di
bawah standar ACE sebesar 200 kWh/m2/tahun.
''Ada persepsi kalau bangunan hemat energi itu harus mengorbankan bangunan lain,'' ujarnya saat menyampaikan
presentasinya pada forum yang diadakan oleh BCI Asia, penyedia jasa informasi konstruksi di kawasan Asia, dan Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI). Menurutnya, untuk menghadirkan 'bangunan hijau' tidak perlu mengorbankan kenyamanan dan
produktivitas akibat penggunaan materi hemat energi. Yang jelas, pemakaian energi menjadi sedikit, suasana
lingkungan sehat, dan tetap menguntungkan.
Berbicara mengenai green building tak bisa dipisahkan dari green architecture. Ia mengungkapkan, yang dimaksud
green building tidak hanya hemat energi tapi juga hemat air, melestarikan sumber daya alam, dan meningkatkan kualitas
udara. Sementara green architecture adalah bagaimana mengubah empat hal itu menjadi seni yang berkesinambungan.
Di sinilah peran arsitek bagaimana memadukan elemen-elemen menjadi satu kesatuan yang green. ''Bagaimana
menjadikan green building yang estetis,'' lanjutnya.
''Jadi, arsitek dan engineer bekerja sama untuk mewujudkan green architecture,'' ujar principal PT Archi-Metric,
perusahaan konsultan arsitektur ini. Ia menunjukkan salah satu contoh bangunan 'hijau' adalah Gedung Perpustakaan
Nasional Singapura yang menggunakan teknik-teknik kinerja konsumsi energi yang rendah.

Share/Bookmark Read More..

Tata Ruang Rumah Mempengaruhi Penyembuhan Pasien Stroke


PENDERITA stroke memerlukan banyak dukungan untuk mempercepat
kesembuhannya. Selain pengawasan intensif dari dokter yang merawat,
perhatian keluarga juga sangat menentukan.

Seorang penderita akan mempunyai rasa percaya diri yang besar untuk segera
sembuh, bila keluarga memahami derita yang dialaminya. Sebaliknya,
penderita akan sulit bersosialisasi jika suasana rumah tidak mendukung.
Namun, ada aspek lain yang selama ini jarang disinggung, tapi sebetulnya
sangat berpengaruh pada penyembuhan penderita stroke. Yakni tata ruang di
rumah.

Menurut Pimpinan Biro Arsitek di Yogyakarta, Ir Wim Kadaryono, adanya
tempat rehabilitasi di rumah bukan penentu bahwa proses penyembuhan akan
berjalan dengan baik. Untuk mencapai hasil maksimal, perlu juga
diperhatikan tata ruangnya. Hubungan antara ruang yang satu dengan ruang
lainnya perlu diperhatikan sedemikian rupa, agar penghuni dapat melakukan
aktivitas kehidupan secara efisien. Penataan perlengkapan rumah juga harus
membuat penghuni nyaman tinggal di dalamnya. Namun, tentu saja usaha
tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan yang ada.

"Tidak ada kata terlambat bagi upaya rehabilitasi. Tapi untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, rehabilitasi harus dilakukan sedini mungkin. Agar,
penderita dapat segera hidup mandiri," kata Wim dalam seminar "Stroke,
Persiapan Menjelang Pulang Dari Rumah Sakit" baru-baru ini di RS Bethesda,
Menurut Wim, rehabilitasi akan efisien kalau dilakukan dengan benar. Salah
satu aspek rehabilitasi adalah terapi yang disebut Terapi Pengembangan
Syaraf (TPS). TPS ini juga memerlukan ruang yang memadai bagi para
pelakunya, yakni penderita dan keluarga sebagai pendamping latihan.

Aktivitas rehabilitasi ini terbagi dalam beberapa fase (fase akut, fase
latihan aktif, dan fase latihan melakukan kegiatan sehari-hari). Setiap
gerakan pada masing-masing fase membutuhkan besaran ruang minimal agar
pasien dapat melakukan aktivitas dengan benar.

Dalam ilmu bangunan, sering diadakan penyelidikan tentang ukuran badan dan
gerak manusia, guna merancang tata ruang dengan baik, sehingga hasilnya
bisa digunakan dengan nyaman oleh pemakai/manusia, tanpa pemborosan tempat.
Sering dijumpai, kata Wim, orang merasa tidak nyaman dalam ruangan, tapi
tidak tahu apa penyebabnya. Untuk pasien stroke, ukuran ruangan harus
diperhitungkan berdasarkan kebutuhannya. Kalau perlu, bisa diperhitungkan
penambahan ruang bagi keperluan penderita.

Cacat

Stroke dapat mengakibatkan cacat jasmani utama pada orang dewasa. Hampir 50
persen penderita stroke menjadi cacat, baik ringan maupun berat, 30 persen
meninggal dan sisanya dapat disembuhkan. Sembuh di sini berarti cacat
jasmani yang diderita tidak terlalu mengganggu kehidupan penderita
sehari-hari.

Sebelum tahun 1970, dikenal istilah cerebrovascular accident untuk stroke,
yang memandang stroke sebagai bencana/kecelakaan. Kecelakaan tersebut
menyebabkan terganggunya pemberian darah ke jaringan otak, sehingga
menimbulkan defisit neurologik atau kelainan syaraf yang bervariasi. Bisa
berupa kelumpuhan total, atau separo anggota badan, kesulitan berbicara
berupa pelo, tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain (afasia sensorik).

Bisa juga tak mampu berbicara sesuai isi pikiran (afasia motorik), mulut
merot, hilangnya perasaan kulit separo badan, tidak dapat menahan buang air
besar dan kecil, serta berbagai gejala lain yang tergantung dari luas dan
letak kerusakan otak yang terjadi.

Bukan Bencana

Berkat penelitian yang berkesinambungan dan perkembangan alat-alat
kedokteran modern, akhirnya diketahuilah bahwa stroke bukan
bencana/kecelakaan, yang datangnya bisa tak terduga dan sulit dicegah. Tapi
suatu penyakit, yang kejadiannya dapat dicegah. Dengan pengertian baru ini,
stroke lebih tepat disebut cerebrovascular disease, penyakit pembuluh darah
otak yang berimplikasi sebagai kejadian yang dapat dicegah atau diperlambat
datangnya.

Stroke dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko. Utamanya adalah
usia, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, beberapa jenis penyakit
jantung, serta hal-hal lain yang bisa berperan sebagai faktor risiko.
Seperti kegemukan, kebiasaan merokok dan minum alkohol, kurang gerak dan
stres. Penelitian membuktikan, pengendalian faktor risiko dapat mencegah
atau setidak-tidaknya memperlambat datangnya stroke.

Di AS, angka kejadian stroke dilaporkan 1 per 1000 orang berusia 35-44
tahun, 7 per 1000 orang pada usia 45-55 tahun, 1,8 per 1000 pada usia 55-64
tahun, 2,7 per 1000 pada usia 75-84 tahun, dan 13,9 per 1000 pada usia 85
tahun ke atas.

Terlihat, makin tua seseorang makin besar kemungkinan untuk menderita
stroke. Pada usia 75-85 tahun, kemungkinannya meningkat hampir 6 kali lipat
dibandingkan usia 55-64 tahun. Angka ini diperkirakan tak berbeda untuk
Indonesia. Angka penderita stroke di Indonesia diduga bakal bertambah
banyak, seiring makin tingginya usia harapan hidup di Indonesia.

Jangan Panik

Menurut ahli stroke dari RS Panti Rapih Yogyakarta, Dr Lucas Meliala DAJ
DSSK, kalau ada yang stroke, keluarga sebaiknya jangan panik. Tapi segera
membawa penderita ke rumah sakit. Sementara perawatan di rumah harus
dilakukan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

Dokter umumnya mengambil keputusan untuk mengizinkan pasien pulang. Ada
yang pulang tanpa syarat, pulang dengan syarat, atau pulang paksa. Semua
itu memerlukan kesiapan, baik penderita maupun keluarga, yang harus sudah
dimulai sejak penderita masuk rumah sakit, sesuai dengan prinsip-prinsip
rehabilitasi.

Hal-hal yang harus diperhatikan, kata Dr Harsono DSSK dari RS Bethesda,
adalah kesiapan untuk mengevaluasi penderita dari hari ke hari. Apakah
mengalami perubahan menuju perbaikan atau justru mengalami kemunduran.
Terapi dan perawatan disesuaikan dengan perubahan yang ada. Evaluasi
meliputi pemeriksaan fisik, laboratorik dan pemeriksaan penunjang lain yang
dianggap perlu, sesuai dengan kondisi penderita, misalnya rekaman jantung,
CT-Scan ulang dan foto paru.

Secara keseluruhan, seluruh program terapi dan perawatan ditujukan untuk
memulihkan penderita agar kelak dapat cukup mandiri di tengah-tengah
keluarga. Penderita perlu selalu diberi pengertian tentang program
pemulihan tadi, agar terdorong untuk lebih maju dan tidak kehilangan rasa
percaya diri. Dalam hal ini diperlukan kerja sama yang baik antara dokter,
perawat, ahli fisioterapi, ahli gizi, psikolog dan keluarga.

Larangan/pantangan terhadap penderita, seyogyanya tidak diutarakan secara
kaku. Penyampaian mana yang boleh dan mana yang tidak, harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga penderita dapat menerima dengan baik apa yang
telah diprogramkan untuk dirinya. Rasa ikhlas dalam memahami situasi,
merupakan dasar untuk melaksanakan programa berikutnya. Namun kenyataannya,
rasa ikhlas inilah yang paling sulit dicapai. Ini perlu dipahami oleh
keluarga agar dapat keserasian bersikap dapat dicapai sehari-hari.
Diperlukan sikap sabar, telaten dan penuh pengertian.

Kepada penderita perlu dipesankan hal-hal yang perlu dijalani secara
tertib. Misalnya, minum obat sesuai petunjuk, latihan teratur, pemilihan
bahan makanan/minuman sesuai dengan kondisi/selera penderita, tidur,
membaca koran, menonton televisi, mendengarkan radio, dan sebagainya. Bila
dilaksanakan secara tertib, seluruh aktivitas harian tidak lagi terasa
sebagai beban. Penderita pun akan menikmati kehidupan sehari-hari dengan
wajar.

Makin baik kondisi penderita, persiapan keluarga akan makin ringan.
Sebaliknya, makin buruk kondisi penderita, makin berat persiapan keluarga.
Namun, secara umum keluarga dituntut untuk selalu waspada agar kondisi
penderita tidak menurun.

Psikososial

Tidak dapat dipungkiri, merawat penderita stroke merupakan beban
psikososial yang tidak ringan. Perasaan cemas, tertekan, bingung, sedih dan
jengkel akan menyelimuti anggota keluarga.

Oleh sebab itu, persamaan pemahaman tentang perubahan yang terjadi dalam
lingkungan keluarga, sangatlah penting. Untuk mencapai konsensus/saling
pengertian yang kokoh diperlukan pengorbanan masing-masing pribadi. Ini
memang tidak mudah, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Tapi
setidak-tidaknya motivasi ke arah kondisi tadi harus selalu dipertahankan
dengan sebaik-baiknya.

Perawatan sehari-hari memerlukan persiapan mental. Memandikan penderita,
menggantikan pakaiannya, menjaga kebersihan tempat tidur, membantu proses
buang air besar dan buang air kecil, menyuapi makan dan sebagainya,
memerlukan kesabaran dan ketelatenan. Melatih penderita, baik pasif maupun
aktif, merupakan kewajiban anggota keluarga dan harus dikerjakan secara
teratur dan penuh semangat.

Apabila penderita menunjukkan tanggapan dan semangat yang tinggi, proses
latihan akan berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila salah satu pihak
menunjukkan keengganan untuk melatih atau dilatih, maka latihan akan
berhenti dengan sendirinya.

Anggota keluarga yang dipandang mampu untuk melatih harus
mengikuti/memperhatikan dulu program latihan selama penderita masih dirawat
di rumah sakit, baik program di bangsal maupun di klinik fisioterapi.
Tujuan fisioterapi dan latihan harus dipahami oleh anggota keluarga.

Pemilihan bahan makanan merupakan seni tersendiri. Bagi penderita yang
masih terpasang pipa hidung-lambung, pemilihan bahan makanan dapat
dilakukan secara lugas, sesuai dengan kebutuhan gizi pada saat itu.

Lain halnya bila penderita sudah mampu makan seperti biasa. Dapat muncul
masalah yang berkaitan dengan cita rasa dan keras lunaknya makanan. Di sini
bisa terjadi kerewelan-kerewelan kecil, yang kalau tidak diantisipasi
dengan baik bisa menimbulkan frustrasi bagi anggota keluarga. Masalah lain
adalah persiapan kamar penderita dan lingkungannya. Kenyamanan penderita,
kemudahan perawatan, dan latihan sehari-hari merupakan tujuan utama dari
persiapan ini. Tentu saja, segala sesuatunya bergantung pada kondisi sosial
ekonomi masing-masing keluarga.

Bagi keluarga mampu, persiapan kamar penderita bukan masalah. Bahkan, ada
yang mampu menyiapkan kamar penderita seperti layaknya kamar rumah sakit
kelas utama atau VIP, lengkap dengan AC dan berbagai peralatan medik
lainnya. Sebaliknya, bagi keluarga tak mampu, persiapan-persiapan tersebut
praktis tidak dapat dilakukan. Sehingga penderita masuk dalam kondisi rumah
'apa adanya'.

Terlepas dari itu, pada dasarnya yang diperlukan oleh penderita adalah
kondisi rumah dan kamar yang mampu mendukung proses pemulihan. Yang perlu
diperhatikan adalah pergantian udara segar dalam kamar, cahaya yang cukup
terutama sinar matahari, bersih dan bebas dari benda/perabot yang tidak
perlu, tidak tiris bila hujan, dan lantai tidak lembab.

- Pembaruan/Dewi Gustiana

Share/Bookmark Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...