Adsensecamp
ARTIKEL TERBARU
Tata Ruang Rumah Mempengaruhi Penyembuhan Pasien Stroke
PENDERITA stroke memerlukan banyak dukungan untuk mempercepat
kesembuhannya. Selain pengawasan intensif dari dokter yang merawat,
perhatian keluarga juga sangat menentukan.
Seorang penderita akan mempunyai rasa percaya diri yang besar untuk segera
sembuh, bila keluarga memahami derita yang dialaminya. Sebaliknya,
penderita akan sulit bersosialisasi jika suasana rumah tidak mendukung.
Namun, ada aspek lain yang selama ini jarang disinggung, tapi sebetulnya
sangat berpengaruh pada penyembuhan penderita stroke. Yakni tata ruang di
rumah.
Menurut Pimpinan Biro Arsitek di Yogyakarta, Ir Wim Kadaryono, adanya
tempat rehabilitasi di rumah bukan penentu bahwa proses penyembuhan akan
berjalan dengan baik. Untuk mencapai hasil maksimal, perlu juga
diperhatikan tata ruangnya. Hubungan antara ruang yang satu dengan ruang
lainnya perlu diperhatikan sedemikian rupa, agar penghuni dapat melakukan
aktivitas kehidupan secara efisien. Penataan perlengkapan rumah juga harus
membuat penghuni nyaman tinggal di dalamnya. Namun, tentu saja usaha
tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan yang ada.
"Tidak ada kata terlambat bagi upaya rehabilitasi. Tapi untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, rehabilitasi harus dilakukan sedini mungkin. Agar,
penderita dapat segera hidup mandiri," kata Wim dalam seminar "Stroke,
Persiapan Menjelang Pulang Dari Rumah Sakit" baru-baru ini di RS Bethesda,
Menurut Wim, rehabilitasi akan efisien kalau dilakukan dengan benar. Salah
satu aspek rehabilitasi adalah terapi yang disebut Terapi Pengembangan
Syaraf (TPS). TPS ini juga memerlukan ruang yang memadai bagi para
pelakunya, yakni penderita dan keluarga sebagai pendamping latihan.
Aktivitas rehabilitasi ini terbagi dalam beberapa fase (fase akut, fase
latihan aktif, dan fase latihan melakukan kegiatan sehari-hari). Setiap
gerakan pada masing-masing fase membutuhkan besaran ruang minimal agar
pasien dapat melakukan aktivitas dengan benar.
Dalam ilmu bangunan, sering diadakan penyelidikan tentang ukuran badan dan
gerak manusia, guna merancang tata ruang dengan baik, sehingga hasilnya
bisa digunakan dengan nyaman oleh pemakai/manusia, tanpa pemborosan tempat.
Sering dijumpai, kata Wim, orang merasa tidak nyaman dalam ruangan, tapi
tidak tahu apa penyebabnya. Untuk pasien stroke, ukuran ruangan harus
diperhitungkan berdasarkan kebutuhannya. Kalau perlu, bisa diperhitungkan
penambahan ruang bagi keperluan penderita.
Cacat
Stroke dapat mengakibatkan cacat jasmani utama pada orang dewasa. Hampir 50
persen penderita stroke menjadi cacat, baik ringan maupun berat, 30 persen
meninggal dan sisanya dapat disembuhkan. Sembuh di sini berarti cacat
jasmani yang diderita tidak terlalu mengganggu kehidupan penderita
sehari-hari.
Sebelum tahun 1970, dikenal istilah cerebrovascular accident untuk stroke,
yang memandang stroke sebagai bencana/kecelakaan. Kecelakaan tersebut
menyebabkan terganggunya pemberian darah ke jaringan otak, sehingga
menimbulkan defisit neurologik atau kelainan syaraf yang bervariasi. Bisa
berupa kelumpuhan total, atau separo anggota badan, kesulitan berbicara
berupa pelo, tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain (afasia sensorik).
Bisa juga tak mampu berbicara sesuai isi pikiran (afasia motorik), mulut
merot, hilangnya perasaan kulit separo badan, tidak dapat menahan buang air
besar dan kecil, serta berbagai gejala lain yang tergantung dari luas dan
letak kerusakan otak yang terjadi.
Bukan Bencana
Berkat penelitian yang berkesinambungan dan perkembangan alat-alat
kedokteran modern, akhirnya diketahuilah bahwa stroke bukan
bencana/kecelakaan, yang datangnya bisa tak terduga dan sulit dicegah. Tapi
suatu penyakit, yang kejadiannya dapat dicegah. Dengan pengertian baru ini,
stroke lebih tepat disebut cerebrovascular disease, penyakit pembuluh darah
otak yang berimplikasi sebagai kejadian yang dapat dicegah atau diperlambat
datangnya.
Stroke dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko. Utamanya adalah
usia, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, beberapa jenis penyakit
jantung, serta hal-hal lain yang bisa berperan sebagai faktor risiko.
Seperti kegemukan, kebiasaan merokok dan minum alkohol, kurang gerak dan
stres. Penelitian membuktikan, pengendalian faktor risiko dapat mencegah
atau setidak-tidaknya memperlambat datangnya stroke.
Di AS, angka kejadian stroke dilaporkan 1 per 1000 orang berusia 35-44
tahun, 7 per 1000 orang pada usia 45-55 tahun, 1,8 per 1000 pada usia 55-64
tahun, 2,7 per 1000 pada usia 75-84 tahun, dan 13,9 per 1000 pada usia 85
tahun ke atas.
Terlihat, makin tua seseorang makin besar kemungkinan untuk menderita
stroke. Pada usia 75-85 tahun, kemungkinannya meningkat hampir 6 kali lipat
dibandingkan usia 55-64 tahun. Angka ini diperkirakan tak berbeda untuk
Indonesia. Angka penderita stroke di Indonesia diduga bakal bertambah
banyak, seiring makin tingginya usia harapan hidup di Indonesia.
Jangan Panik
Menurut ahli stroke dari RS Panti Rapih Yogyakarta, Dr Lucas Meliala DAJ
DSSK, kalau ada yang stroke, keluarga sebaiknya jangan panik. Tapi segera
membawa penderita ke rumah sakit. Sementara perawatan di rumah harus
dilakukan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
Dokter umumnya mengambil keputusan untuk mengizinkan pasien pulang. Ada
yang pulang tanpa syarat, pulang dengan syarat, atau pulang paksa. Semua
itu memerlukan kesiapan, baik penderita maupun keluarga, yang harus sudah
dimulai sejak penderita masuk rumah sakit, sesuai dengan prinsip-prinsip
rehabilitasi.
Hal-hal yang harus diperhatikan, kata Dr Harsono DSSK dari RS Bethesda,
adalah kesiapan untuk mengevaluasi penderita dari hari ke hari. Apakah
mengalami perubahan menuju perbaikan atau justru mengalami kemunduran.
Terapi dan perawatan disesuaikan dengan perubahan yang ada. Evaluasi
meliputi pemeriksaan fisik, laboratorik dan pemeriksaan penunjang lain yang
dianggap perlu, sesuai dengan kondisi penderita, misalnya rekaman jantung,
CT-Scan ulang dan foto paru.
Secara keseluruhan, seluruh program terapi dan perawatan ditujukan untuk
memulihkan penderita agar kelak dapat cukup mandiri di tengah-tengah
keluarga. Penderita perlu selalu diberi pengertian tentang program
pemulihan tadi, agar terdorong untuk lebih maju dan tidak kehilangan rasa
percaya diri. Dalam hal ini diperlukan kerja sama yang baik antara dokter,
perawat, ahli fisioterapi, ahli gizi, psikolog dan keluarga.
Larangan/pantangan terhadap penderita, seyogyanya tidak diutarakan secara
kaku. Penyampaian mana yang boleh dan mana yang tidak, harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga penderita dapat menerima dengan baik apa yang
telah diprogramkan untuk dirinya. Rasa ikhlas dalam memahami situasi,
merupakan dasar untuk melaksanakan programa berikutnya. Namun kenyataannya,
rasa ikhlas inilah yang paling sulit dicapai. Ini perlu dipahami oleh
keluarga agar dapat keserasian bersikap dapat dicapai sehari-hari.
Diperlukan sikap sabar, telaten dan penuh pengertian.
Kepada penderita perlu dipesankan hal-hal yang perlu dijalani secara
tertib. Misalnya, minum obat sesuai petunjuk, latihan teratur, pemilihan
bahan makanan/minuman sesuai dengan kondisi/selera penderita, tidur,
membaca koran, menonton televisi, mendengarkan radio, dan sebagainya. Bila
dilaksanakan secara tertib, seluruh aktivitas harian tidak lagi terasa
sebagai beban. Penderita pun akan menikmati kehidupan sehari-hari dengan
wajar.
Makin baik kondisi penderita, persiapan keluarga akan makin ringan.
Sebaliknya, makin buruk kondisi penderita, makin berat persiapan keluarga.
Namun, secara umum keluarga dituntut untuk selalu waspada agar kondisi
penderita tidak menurun.
Psikososial
Tidak dapat dipungkiri, merawat penderita stroke merupakan beban
psikososial yang tidak ringan. Perasaan cemas, tertekan, bingung, sedih dan
jengkel akan menyelimuti anggota keluarga.
Oleh sebab itu, persamaan pemahaman tentang perubahan yang terjadi dalam
lingkungan keluarga, sangatlah penting. Untuk mencapai konsensus/saling
pengertian yang kokoh diperlukan pengorbanan masing-masing pribadi. Ini
memang tidak mudah, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Tapi
setidak-tidaknya motivasi ke arah kondisi tadi harus selalu dipertahankan
dengan sebaik-baiknya.
Perawatan sehari-hari memerlukan persiapan mental. Memandikan penderita,
menggantikan pakaiannya, menjaga kebersihan tempat tidur, membantu proses
buang air besar dan buang air kecil, menyuapi makan dan sebagainya,
memerlukan kesabaran dan ketelatenan. Melatih penderita, baik pasif maupun
aktif, merupakan kewajiban anggota keluarga dan harus dikerjakan secara
teratur dan penuh semangat.
Apabila penderita menunjukkan tanggapan dan semangat yang tinggi, proses
latihan akan berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila salah satu pihak
menunjukkan keengganan untuk melatih atau dilatih, maka latihan akan
berhenti dengan sendirinya.
Anggota keluarga yang dipandang mampu untuk melatih harus
mengikuti/memperhatikan dulu program latihan selama penderita masih dirawat
di rumah sakit, baik program di bangsal maupun di klinik fisioterapi.
Tujuan fisioterapi dan latihan harus dipahami oleh anggota keluarga.
Pemilihan bahan makanan merupakan seni tersendiri. Bagi penderita yang
masih terpasang pipa hidung-lambung, pemilihan bahan makanan dapat
dilakukan secara lugas, sesuai dengan kebutuhan gizi pada saat itu.
Lain halnya bila penderita sudah mampu makan seperti biasa. Dapat muncul
masalah yang berkaitan dengan cita rasa dan keras lunaknya makanan. Di sini
bisa terjadi kerewelan-kerewelan kecil, yang kalau tidak diantisipasi
dengan baik bisa menimbulkan frustrasi bagi anggota keluarga. Masalah lain
adalah persiapan kamar penderita dan lingkungannya. Kenyamanan penderita,
kemudahan perawatan, dan latihan sehari-hari merupakan tujuan utama dari
persiapan ini. Tentu saja, segala sesuatunya bergantung pada kondisi sosial
ekonomi masing-masing keluarga.
Bagi keluarga mampu, persiapan kamar penderita bukan masalah. Bahkan, ada
yang mampu menyiapkan kamar penderita seperti layaknya kamar rumah sakit
kelas utama atau VIP, lengkap dengan AC dan berbagai peralatan medik
lainnya. Sebaliknya, bagi keluarga tak mampu, persiapan-persiapan tersebut
praktis tidak dapat dilakukan. Sehingga penderita masuk dalam kondisi rumah
'apa adanya'.
Terlepas dari itu, pada dasarnya yang diperlukan oleh penderita adalah
kondisi rumah dan kamar yang mampu mendukung proses pemulihan. Yang perlu
diperhatikan adalah pergantian udara segar dalam kamar, cahaya yang cukup
terutama sinar matahari, bersih dan bebas dari benda/perabot yang tidak
perlu, tidak tiris bila hujan, dan lantai tidak lembab.
- Pembaruan/Dewi Gustiana
Labels:all about architecture
arsitektur dan kesehatan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment